Senin, Oktober 26, 2015

Nasib Lembaga Madrasah

Madrasah adalah salah satu bentuk kelembagaan pendidikan Islam yang memiliki sejarah sangat panjang, yakni berawal dari sebuah pendidikan yang besifat informal berupa dakwah Islamiyah untuk menyebarkan Islam. Pada masa itu berlangsung pendidikan Islam yang diselenggarakan di rumah-rumah yang dikenal dengan Dar al-Arqam. Kemudian,
dengan seiring perkembangan pendidikan Islam dan terbentuknya masyarakat Islam, pendidikan Islam deselenggarakan di masjid-masjid yang dikenal dalam bentuk halaqoh. Pendidikan formal Islam baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni dengan kebangkitan madrasah.[1]  
Tentu pembicaraan kali ini tentang madrasah menjadi topik yang cukup menarik untuk dibahas bagi saya pribadi. Dari itu, sebelum topik ini dibahas lebih panjang dan mendalam alangkah lebih baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian madrasah itu sendiri secara mendasar serta sejarah munculnya madrasah di tanah nusantara.  
Pengertian Madrasah
               Madrasah merupakan isim makan dari fi’il madhi dari darasa, mengandung arti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dengan demikian, secara teknis madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal dan memiliki konotasi spesisfik. Maksudnya pada madrasah itulah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali.[2]
               Dalam konteks Indonesia, istilah madrasah tidak asing lagi bagi pendengaran masyarakat umum, kalangan pelajar ataupun mahasiswa, hingga aparat pemerintah. Karena istilah “madrasah” di Indonesia merupakan lembaga pendidikan dasar dan menengah. Berbeda dengan “madrasah” yang didefinisikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang secara luas berkembang di dunia Islam pra modern sebelum era universitas (al-jami’ah).
               Istilah madrasah sebagai pendidikan Islam muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya melalui mentri Saljuqi yang bernama Nizam al-mulk, yang mendirikan madrasah Nizamiyah. Selanjutnya Gibb dan Kremes menuturkan bahwa pendiri madrasah terbesar Nizam al-Mulk adalah Salahuddin al-Ayyfihi.
               Secara teknis, proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberikan konotasi lebih spesifik lagi, yakni sebagai “sekolah agama”. Adapun dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-‘ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran-pelajaran ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata “madrasah” berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami “madrasah” sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni “tempat untuk belajar agama” atau “tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan”.
Sejarah Madrasah di Indonesia    
               Adapun madrasah dan eksistensinya dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia tergolong fenomena modern yaitu dimulai sekitar awal abad 20. Buku-buku sejarah pendidikan Islam di Indonesia sejauh ini agaknya tidak pernah menginformasikan adanya lembaga pendidikan yang disebut madrasah pada masa-masa awal penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara. Artinya, sejarah tampaknya belum mampu mengungkapkan secara pasti sejak kapan madrasah sebagai istilah sebutan untuk satu jenis pendidikan Islam yang digunakan di Indonesia. Akan tetapi, madrasah sebagai satu sistem pendidikan Islam yang berkelas dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu keagamaan dan non keagamaan sudah tampak sejak awal abad ke-20.[3]
               Karena sulit memastikan kapan istilah “madrasah” dipakai di Indonesia dan madrasah mana yang pertama kali didirikan. Tim penyusun dari Departemen Agama RI menetapkan bahwa madrasah yang pertama kali didirikan adalah madrasah Adabiyah di Padang, didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Nama resminya adalah Adabiyah School, yang pada tahun 1915 dirubah menjadi HIS Adabiyah. Tim penyusun dari Depag sendiri menetapkan demikian karena berpegang pada konsep bahwa madrasah sama dengan sekolah dengan konotasi khusus, yaitu sekolah-sekolah Islam, dan sekolah-sekolah seperti tersebut yang setelah Indonesia merdeka menjadi madrasah yang dibawahi naungan Departemen Agama RI.[4] Adapun madrasah-madrasah yang lain di daerah minangkabau seperti Madras School, Madrasah Diniyah dan madrasah awal yang diluar minangkabau seperti Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah, Madrasah Salafiyyah, Jam’iat Khair, Al-Irsyad dan lain sebagainya.[5]
               Kelahiran madrasah ini tidak terlepas dari ketidakpuasan terhadap sistem pesantren yang semata-mata menitikberatkan agama, di lain pihak sistem pendidikan umum justru ketika itu tidak menghiraukan agama. Dengan demikian kehadiran madrasah dilatar belakangi oleh keinginan untuk memberlakukan secara berimbang antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam pendidikan dikalangan umat Islam. Atau dengan kata lain madrasah merupakan perpaduan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan kolonial (sekarang pendidikan umum).[6]
               Historisitas madrasah, sejak dikenal dengan dikalangan masyarakat muslim Indonesia telah menjadikan lembaga Pendidikan ini tumbuh dengan karakteristik yang membedakan dirinya dari sekolah. Motivasi utama pembentukan madrasah lebih diwarnai oleh kebutuhan memenuhi kewajiban menuntut ilmu terkhusus ilmu agama. Secara spesifik madrasah dibangun oleh individu atau masyarakat muslim sebagai wujud kesadaran keberagaman masyarakat muslim terhadap pentingnya pemahaman sekaligus pelestarian ajaran agama (tafaqquh fid diin) kepada anak-anak generasi penerus.[7]
               Namun selama ini madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam yang mutunya lebih rendah daripada mutu lembaga pendidikan lainnya, terutama sekolah umum, walaupun beberapa madrasah justru lebih maju daripada sekolah umum. Namun keberhasilan beberapa madrasah dalam jumlah yang tak terbatas itu belum mampu menghapus kesan negatif yang sudah terlanjur melekat.
               Ditinjau dari segi penguasaan agama, mutu siswa madrasah bisa dibilang lebih rendah daripada mutu santri pesantren. Sementara itu, ditinjau dari hal penguasaan materi umum, mutu siswa madrasah lebih rendah pula daripada sekolah umum. Jadi, penguasaan baik pelajaran agama maupun materi umum serba mentah (tidak matang). Itulah yang menyebabkan kebanyakan orang menilai “madrasah menjadi semacam sekolah kepalang tanggung”.
               Dari segi manajemen, madrasah bisa dibilang lebih teratur daripada pesantren tradisional (salafiyah). Tetapi dari segi penguasaan pengetahuan agama, santri lebih mumpuni daripada siswa madrasah. Keadaan ini wajar terjadi karena santri tersebut hanya mempelajari pengetahuan agama, sementara beban siswa madrasah berganda. Demikian juga, menjadi wajar ketika dalam penguasaan pengetahuan umum, siswa sekolah umum lebih menguasai daripada siswa madrasah karena beban siswa sekolah umum tidak sebanyak siswa madrasah.
               Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah telah gulirkan, begitu juga usaha menuju ke kesatuan sistem pendidikan nasional dalam rangka pembinaan semakin ditingkatkan. Usaha tersebut bukan hanya merupakan tugas dan wewenang Departemen Agama, tetapi merupakan tugas bersama antara masyarakat dan pemerintah. Usaha tersebut baru terealisasi terutama dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 mentri, antara Mentri Dalam Negri, Mentri Agama, dan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975. Tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Adapun point-point 3 mentri SKB adalah sebagai berikut:
1.    Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat.
2.      Lulusan madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.
3.     Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
               Dengan adanya SKB 3 Mentri tersebut bukan berarti beban yang dipikul madrasah tambah ringan, tetapi justru sebaliknya, akan semakin berat. Hal ini dikarenakan di satu pihak ia dituntut untuk memperbaiki kualitas pendidikan umumnya sehingga setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah umum. Di lain pihak ia harus menjaga agar mutu pendidikan agama tetap baik sebagai ciri khasnya. Dengan adanya SKB 3 Mentri tersebut pendidikan agam pada madrasah menjadi berkurang, karena madrasah-madrasah berlomba untuk menambah materi tentang pendidikan umum untuk mensejajarkan dengan sekolah umum.
Pada dasarnya, secara organisasional, madrasah merupakan organisasi yang mengelola diri (self-organized) untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan karakteristiknya. Dan pengelolaan diri ini dijalankan oleh para pemimpin madrasah melalui mekanisme manajemen operatif. Namun, karena madrasah di Indonesia merupakan sub-sistem dalam makro sistem pendidikan nasional dan tanggung jawab pengelolaannya dibebankan pada Departement Agama (sekarang Kementrian Agama), maka pengelolaan diri madrasah secara individu tidak cukup memberikan dampak perubahan yang signifikan dan luas bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat muslim Indonesia saat ini. Hal tersebut karena kondisi madrasah yang tergolong miskin dalam berbagai sumber, termasuk sumber daya manusianya dan inilah salah satu problem yang menyelimuti kehidupan madrasah.
Prospek Madrasah Serta Tantangannya Kedepan
               Perkembangan madrasah sejak Indonesia merdeka hingga sekarang menunjukkan adanya proses dinamika, adaptasi, antisipasi, serta respon yang tinggi terhadap kemajuan zaman. Jika di masa-masa awal madrasah terasa terkesan ekslusif dan cenderung terasingkan, maka di masa-masa selanjutnya terjadi perkembangan yang pesat. Bahkan, dalam perkembangan terakhir, madrasah sudah beranjak dari paradigma lama sebagai pendidikan Islam murni. Madrasah sekarang tampil seperti sekolah. Madrasah seakan ditata ulang. Penjenjangan pendidikan madrasah sekarang diatur sejalan dengan sistem penjenjangan pendidikan secara nasional. Pertama, madrasah-madrasah mengembangkan kurikulum yang memberikan porsi cukup besar untuk mata pelajaran non-keagamaan. Kedua, sebagian madrasah menggunakan kurikulum yang berorientasi pada mata pelajaran keagamaan. Ketiga, banyak madrasah yang memanfaatkan porsi kurikulum muatan lokal untuk mengintensifkan ciri-ciri keagamaan, kejujuran, atau orientasi keilmuan tertentu. Dan keempat, murid-murid tamatan madrasah  dapat melanjutkan ke sekolah dan perguruan tinggi.[8]
               Pada era reformasi, terjadi perubahan besar, terutama dengan dikeluarkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas. Di dalam sisdiknas ini, posisi madrasah adalah sama satu derajat dengan sekolah, yaitu termasuk dalam jenis pendidikan umum, berbeda dengan UU sebelumnya yang menyatakan bahwa madrasah adalah sekolah umum yang bercirikan Islam.
               Dalam konteks UU sisdiknas, madrasah menghadapi tantangan yang sangat besar. Sebagai sub-sistem pendidikan nasional yang termasuk dalam jenis pendidikan umum, madrasah dituntut untuk melaksanakan PP. No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dengan tujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
               Masuknya madrasah sebagai sub-sistem pendidikan nasional mempunyai berbagai konsekuensi terutama pada pola pembinaan yang harus mengikuti satu ukuran yang mengacu pada sekolah-sekolah umum. Madrasah harus mengikuti kurikulum nasional dan berbagai peraturan yang disusun oleh Departemen Pendidikan Nasional.
               Beberapa kendala masih menjadi masalah mendasar di madrasah. Pertama, materi pendidikan di madrasah dipandang belum mampu membangun sikap kritis, juga menyeimbangkan antara mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama. Sehingga terkendala dalam pembagian waktu antara dua fokus mata pelajaran tersebut dan imbasnya adalah tidak maksimalnya proses pembelajaran, baik mata pelajaran agama sebagai ciri khasnya maupun mata pelajaran umum. Kedua, penyelenggaraan pendidikan di madrasah berlangsung dengan fasilitas sederhana, murah, meriah, dan sering kali atas dasar ikhlas beramal. Akibatnya proses pembelajaran tidak berlangsung secara optimal, sehingga potensi akademik dan daya kreativitas siswa tidak berkembang secara optimal. Ketiga, kegiatan belajar mengajar di sebagian madrasah berlangsung secara monolog dengan posisi guru yang dominan, karena murid lebih banyak yang pasif.
               Harus diakui bahwa kurang tertariknya masyarakat dalam memilih madrasah dan lembaga-lembagai pendidikan Islam lainnya, sebenarnya bukan karena telah terjai pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya yang mulai memudar. Hal itu lebih banyak karena pendidikan madrasah kurang menjajikan dan kurang responsif terhadap tuntutan masyarakat.
               Belum lagi pada zaman modern ini, persaingan juga terjadi pada sekolah-sekolah swasta yang berembrio Islam. Bisa kita jumpai sekarang lembaga-lembaga pendidikan swasta yang bernuansa keagamaan, seperti sekolah-sekolah Muhammaditah, sekolah Islam terpadu, Ma’arif, dan al-Azhar, dll. Lembaga-lembaga ini mengembangkan kurikulum yang diatur oleh pemerintah secara nasional, disamping menambah muatan dan kegiatan keagamaan yang cukup banyak. Penambahan jam pelajaran di sekolah-sekolah swasta Islam ini dibenarkan menurut UU SPN pasal 47 ayat 2, sebagai ciri khas pendidikan yang dikelola oleh organisasi atau yayasan Islam.[9] Juga pada sekolah swasta tertentu mengembangkan muatan keagamaannya dengan memasukkan pelajaran yang berkaitan dengan ideologi dan sejarah organisasi yang menjadi induknya. Seperti sekolah-sekolah Muhammadiyah yang mengajarkan materi tentang ke-Muhammadiyah-an dan sekolah-sekolah Ma’arif yang mengajarkan diajarkan materi Ahlussunnah wal jama’ah.        
               Dalam perkembangannya, madrasah terpaksa menerima modernisasi seiring dengan perubahan zaman, dampaknya adalah pergeseran paradigma yang tidak dapat dihindari dalam kerangka memenuhi kebutuhan dan tuntutan perubahan. Pada UU SPN tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentan sistem pendidikan nasional telah memberikan berkah bagi madrasah, yakni madrasah ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan sekolah umum dengan ciri khas yang dikenakan pada madrasah.
               Namun permasalahn yang muncul belakangan selain peningkatan mutu dan sarana prasarana, adalah madrasah seperti bergeser atau kehilangan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki fokus pada tafaqquh fid diin (penguasaan ilmu-ilmu agama) ke arah yang relatif sama dengan sekolah pada umumnya. Muatan kurikulumnya sama dengan sekolah, hanya saja madrasah masih menyisakan ciri khas ke-Islaman-nya dengan mata pelajaran agama, yang tidak sekuat dan sedalam dulu pada awal terbentuk.
               Akibatnya, madrasah pada kenyataannya tidak saja menjadikan lulusan yang serba nanggung antara mata pelajaran agama dan umum. Bahkan justru mengantarkan siswa madrasah meninggalkan orientasi tafaqquh fid diin ke pola pikir yang serba profan dan materialistik. Hal ini diperburuk dengan kebijakan Departemen Agama melalui surat edaran Dirjen Pendidikan Islam No. DJ 11/PP. 00/ED681/2006 tentang pelaksanaan standar isi justru menutup peluang MAK sebagai warisan kekhasan madrasah menjadi UPT tersendiri atau satuan pendidikan tingkat menengah.         
               Yang tak kalah seriusnya yakni terkait kebijakan pemerintah terhadap madrasah yang terkesan “setengah hati.” Di beberapa daerah masih ditemukan madrasah yang tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah karena masih dianggap sebagai institusi vertikal yang tidak berhak mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Dimana madrasah berada pada posisi dilematis, karena secara administratif, madrasah dibawah koordinasi Kementrian Agama yang menguasai sektor agama dimana sektor ini tidak disentralisasikan. Namun secara substansif, sesuai dengan bunyi UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional madrasah adalah sekolah umum yang esensi dan statusnya sama dengan sekolah-sekolah umum biasa yang lainnya yang melaksanakan tugas nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.[10] 
               Sampai akhirnya problem-problem tersebut akan selalu menjadi pekerjaan rumah yang tiada akhirnya bagi mereka yang bergelut di bidang pendidikan terkhusus di bidang pendidikan Islam. Semoga kelak masalah-masalah yang dihadapi oleh madrasah yang secara struktural dibawah naungan Kementian Agama dapat terselesaikan. Serta kembali dapat mengangkat madrasah ke derajat yang mumpuni sehingga dari madrasah kelak akan melahirkan output-output yang berkualitas, mempunyai daya saing yang tinggi di zaman golbalisasi ini dan tidak serta merta meninggalkan identitas mereka sebagai output di bidang Agama. 




[1] Sunhaji, Manajamen Madrasah, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006), hlm 74.
[2] Samsul Nizar, Sejarah & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara, ( Jakarta: KENCANA, 2013), hlm. 259.
[3] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1999), hlm. 97
[4] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 193.
[5] Samsul Nizar, Sejarah & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara, Op. Cit., hlm. 266-269.
[6] Sunhaji, Manajamen Madrasah ....., hlm 74.
[7] Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya ...., hlm 6-7.
[8] IP Simanjuntak, Perkembangan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1972), hlm. 24.
[9] Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Golden Terayon Press, 1994)
10] Diambil dari prolog Dr. H. M. Amin Haedari, Agenda dan Tantangan Pendidikan Madrasah di Indonesia, dalam buku Nunu Ahmad an-Nahidl, dkk, Spektrum Baru Pendidikan Madrasah (Jakarta: Pustlitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar