Tersebutlah seorang ulama bernama Abid.
Ia tekun menjalankan ibadah. Bertahun-tahun lamanya menyembah Allah dan tak
pernah berbuat dosa. Sepanjang waktu, dia sibuk berdzikir dan berdo’a. Hampir
tak pernah keluar dari tempat ibadahnya.
Sementara itu terdengar desas-desus
tentang banyaknya
orang yang mendatangi sebuah pohon besar untuk keperluan penyembahan. Pohon itu sudah beratus-ratus tahun tumbuh di dekat kuburan. Sekarang daunnya rimbun dan batangnya kokoh. Entah siapa yang memulai sampai-sampai tempat itu ramai dikunjungi orang. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk membakar kemenyan dan berdo’a di sana. Untuk menambah kesan keangkerannya, beberapa bagian pohon itu dibalut kain putih. Sungguh mengerikan bukan !
orang yang mendatangi sebuah pohon besar untuk keperluan penyembahan. Pohon itu sudah beratus-ratus tahun tumbuh di dekat kuburan. Sekarang daunnya rimbun dan batangnya kokoh. Entah siapa yang memulai sampai-sampai tempat itu ramai dikunjungi orang. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk membakar kemenyan dan berdo’a di sana. Untuk menambah kesan keangkerannya, beberapa bagian pohon itu dibalut kain putih. Sungguh mengerikan bukan !
Kabar tentang kemusyrikan itu sampai pula
ke telinga Abid. “Kemusyrikan itu tidak boleh dibiarkan !” pikir Abid
dalam hati. Sebagai orang beriman, Abid merasa bertanggung jawab untuk
meluruskan perilaku mereka. Cara yang dianggap tepat adalah memusnahkan pohon
itu.
Sejak pagi Abid sudah sibuk mengasah kapaknya.
Lalu bergegas pergi untuk melaksanakan niatnya, menebang pohon tersebut. Tapi
di tengah jalan ia dicegat oleh orang yang belum pernah dikenal sebelumhya.
Sebenarnya orang asing itu adalah jelmaan setan penunggu pohon besar. Rupanya
setan tahu rencana Abid dan takkan membiarkan pohon keramat itu dimusnahkan.
“Selamat pagi Kiai”, sapa orang
itu ramah sekali. Dengan ramah Abid tersenyum dan membalas dengan ucapan yang
sama.
“Tidak seperti biasanya, Kiai keluar
dari tempat peribadatan. Bahkan, aku merasa aneh melihat seorang ulama terkenal
berjalan pagi-pagi dengan memanggul kapak. Hendak kemakah, Kiai ?” tanya
orang yang berlagak akrab itu.
“Aku hendak menebang pohon di dekat
kuburan.” Jawab Abid. “Mengapa tidak menyuruh orang lain saja, Kiai
?” tanya orang itu. “Aku merasa bertanggung jawab sehingga harus kulakukan
sendiri,” jawab Abid. “Bukankah pohon itu sekarang ramai dikunjungi
orang. Bagaimana nanti kalau ditebang ?” kata setan. “Justru karena
itulah aku bermaksud merobohkannya. Agar tidak dikunjungi orang,” jawab
Abid.
Abid merasakan firasat yang tidak baik.
Tiba-tiba ia curiga kepada orang asing yang sejak tadi mengajaknya bicara.
Kedua mata Abid menatap lekat-lekat kepada orang itu. Akhirnhya Abid sadar
bahwa orang yang ada di hadapannya tersebut adalah setan.
“Minggirlah, aku mau lewat !”
bentak Abid mulai jengkel. Orang itu tidak mau membuka jalannya. Ia tetap
berusaha menghalang-halangi langkah Abid. “Tidak ! Aku tidak
mengizinkanmu merobohkan pohon itu !” kata orang tersebut.
Keduanya tidak mau mengalah. Mereka
akhirnya bertengkar. Orang itu mengarahkan tinjunya ke wajah Abid. Namun dengan
gesit Abid menggeser tubuhnya ke samping. Akibatnya, pukulan itu hanya mengenai
udara. Abid tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, secepat kilat ia
menangkap pergelangan tangan musuhnya. Selanjutnya, tangan kiri Abid menyambar
bagian leher. Seketika itu musuhnya tak berkutik.
“Kalau sudah begini, apakah kau masih
ingin menghalangi niatku ?” tanya Abid dengan napas tersengal sengal. “Maafkan
aku Kiai, sungguh aku tak akan lagi menghalangi niat kiai. Tolonglah lepaskan
cengkraman ini !” orang asing itu merengek-rengek.
Abid pun melepaskan cekalan tangannya.
Orang asing tersebut mundur selangkah dan membiarkan Abid pergi. Tetapi baru saja beberapa meter berjalan, tiba-tiba
Abid diserang dari belakang.
Dengan serta merta Abid membalikkan
tubuhnya dan menyerang musuhya kembali. Ia melancarkan pukulan dan tendangan
telak. Dengan jitu, kaki Abid mendarat di lambung orang asing itu. Disusul pula
dengan pukulan yang mengenai rahang dan pelipis, sehingga orang itu terdesak.
Abid tak memberi kesempatan sama sekali. Kaki kanannya menjegal kaki kiri
musuh. Seketika musuh terjatuh. Abid segera menendang dan menginjak leher
musuhnya itu sampai benar-benar tak berdaya. Musuhnya berteriak-teriak mohon
ampun dan mencoba merayu Abid.
“Ampun Kiai, lepaskan aku !”
pintanya dengan sikap manis. “Tidak ! Kali ini kupatahkan lehermu,”
bentak Abid geram. Akan tetapi, betapa pandainya setan itu membujuk rayu
sehingga Abid pun benar-benar berubah pendirian. Ia lalu melepaskan musuhnya.
“Kiai, hendaknya jangan buru-buru
menilaiku jahat. Jangan pula menganggap kalau aku menghalang-halangi niat Kiai.
Semua ini kulakukan demi kebaikan Kiai. Jika Kiai mengerti maksudhku yang sebenarnya,
maka kiai tak mungkin membenciku. Bahkan Kiai akan berterima kasih kepadaku,”
kata orang itu membujuk Abid.
“Jangan banya bicara, katakan saja apa
yang kau maksudkan !” bentak Abid.
“Sebenarnya sudah lama sekali aku
mengamati kehidupan Kiai yang memprihatinkan. Hatiku jadi terenyuh,” kata
setan. “Mengapa ?” tanya Abid.
“Kiai sangat baik, sopan, ahli ibadah,
dan hampir tak pernah berbuat dosa, meski terhadap seekor semut sekalipun. Tapi
Kiai tetap saja hidup melarat. Hidup Kiai ternyata lebih buruk jika
dibandingkan dengan saudara-saudara, teman-teman, dan orang-orang di
sekitarnya. Alangkah sayangnya jiwa murni dan hati bersih, tetapi hidup dalam
kemelaratan.”
“Aku tidak butuh harta karena aku
lebih suka mendambakan serta berbakti kepada Allah. Karena ibadah yang
kulakukan, kelak aku akan mendapat pahala-Nya.”
“Oooo... itu pikiran yang sangat
bodoh, Kiai. Pikirkan, seandainya kita kaya, maka kita akan dapat melakukan
ibadah dengan sempurna dan lebih tenang. Ingat Kiai, kemiskinan dapat
menjerumuskan orang dalam kekafiran. Aku khawatir, kemelaratan Kiai akan
menyebabkan Kiai jadi kafir. Padahal puluhan tahun lamanya Kiai berjuang untuk
mencegah dosa. Berpuluh tahun lamanya Kiai tekun menjalankan ibadah. Alangkah
sayangnya jika perbuatan baik itu menjadi rusak karena kemelaratan,” kata
orang tersebut mempengaruhi pendirian Abid.
Abid tampk diam. Agaknya ia mulai
terpengaruhi bujukan musuhnya. Pendiriannya mulai goyah. Dalam hati, ia
membenarkan ucapan yang baru saja didengarnya itu.
“Selama ini, Kiai hanya sembahyang,
berdzikir, dan berdo’a kepada Allah. Sampai-sampai tak pernah keluar dari
tempat peribadatan. Padahal, diluar banyak fakir miskin dan anak yatim yang
perlu disantuni. Mereka perlu dibantu. Bersedekah merupakan ibadah yang tak
ternilai pahalanya. Amat besar Kiai. Balasannya sungguh luar biasa dibandingkan
dengan amalan lainnya.”
“Maksudmu ?” tanya Abid kemudian.
“Apakah selama ini Kiai pernah bersedekah ? aku yakin Kiai tak pernah
memberi sesuatu kepada fakir miskin dan anak yatim. Sebab, Kiai sendiri miskin.
Berarti Kiai telah menyia-nyiakan kesempatan untuk meraih pahala yang besar.”
“Kuakui, memang aku tak pernah
bersedekah. Tetapi aku tekun menjalankan ibadah kepada Allah,” ujar Abid. “Nah,
itulah kelemahannya,” kata orang tersebut seakaan meremehkan. “Sebenarnya
harta itu penting. Penting sekali, Kiai !”
Abid tampak manggut. Bibirnya menyungging
senyum. Diam-diam ia memuji kecerdasan musuhnya itu. “Kau benar,”
katanya menimpali. “Makanya aku ingin menjadi sahabat Kiai. Dengarkanlah nasihatku
!” Kiai menimpali, “Katakanlah !”
“Kalau Kiai berkenan, maka sebaiknyaa
niat merobohkan pohon itu diurungkan saja. Jangan diteruskan. Percuma, tak ada
hasilnya. Justru Kiai akan terancam. Para penyembah pohon itu akan marah dan
berusaha membunuh Kiai. Kumohon dengan sangat, Kiai benar-benar memikirkan
untung dan ruginya !”
“Maksudmu ?” tanya Kiai. “Sekarang
jawablah pertanyaanku Kiai ! Besar mana pahala dari bersedekah dibandingkan
dengan hanya menebang pohon itu ?” tanya setan. “Tentu saja bersedekah
lebih banyak pahalanhya,” jawab Kiai.
“Mengapa Kiai tidak bersedekah saja
?” tanya setan kembali. “Dari mana aku dapat uang ?” Abid balik
bertanya. “Nah, itulah susahnya menjadi ahli ibadah yang miskin. Tapi jangan
khawatir, aku akan membantu Kiai. Sekarang Kiai boleh pulang. Setelah sampai di
tempat ibadah segera periksa dibawah tikar. Di sana ada dua keping dinar !”
kata orang itu setengah memerintah.
“Yang benar saja ?” tanya Abid
dengan penuh harap. “Buktikanlah sendiri !” ujar orang itu meyakinkan. “Bahkan
setiap pagi, Kiai akan selalu mendapati dua keping dinar secara terus menerus.
Nah, uang itu bisa Kiai manfaatkan untuk sedekah.”
“Darimana uang itu ?” sergah Kiai.
“Percayalah aku akan selalu menaruhnya setiap hari di sana,” kata orang
itu meyakinkan. “Akan kubuktikan.Tapi Awas, jika kau main-main !” ancam
Abid. “Bolehlah Kiai mematahkan leherku ini dengan kapak jika aku
berbohong,” ujar jelmaan setan tersebut memberi jaminan.
Abid bergegas pulang dan segera menuju
tempat peribadatannya. Dengan hati tak sabar, ia cepat-cepat membuka tikar.
Seketika itu, matanya tergeletak di bawah alas tidurnya. “Uang sebanyak ini
sudah cukup bersedekah dan memenuhi kebutuhan hidup, bahkan masih lebih,”
demikian pikir Abid dalam hati.
Keesokan harinya, ia membuka tikarnya
kembali. Didapatinya dua keping dinar yang masih tergeletak. Hati Abid
berbunga-bunga. Namun pada hari ketiga, ia tak menemukan apa-apa lagi. Hatinya
menjadi sangat kecewa.
“Kurang ajar ! Rupanya dia
mempermainkan aku,” Abid geram. Abid segera menyambar kapaknya. Kali ini ia
benar-benar marah dan takkan memberi ampun kepada setan. “Sekarang aku tak
main-main, tak seorang pun yang bisa menghalangi niatku,” demikian
pikirnya dalam hati. Ditengah jalan ia sudah dihadang kembali oleh setan yang
menjelma menjadi manusia. Dia adalah musuh Abid. Agaknya setan itu tahu betul
rencana Abid di pagi itu.
“Kau benar-benar pembohong, penipu,
bedebah ! Anak setan !” damprat Abid menumpahkan kemarahannya. “Kau
benar, aku memang anak setan. Bahkan, bapaknya setan,” kata orang itu
cengegesan.
Kemarahan Abid semakin memuncak. Ia
segera menyambar lengan orang itu lalu membantingnya sekuat tenaga. Tetapi
musuhnya menyambar kaki Abid dengan cepat. Akibatnya, Abid pun roboh. Orang itu
bangkit lalu menindih tubuh Abid. Leher Abid dicekiknya sampai tak bisa
bernapas.
“Sekarang engkau harus mengakui kalau
aku lebih unggul. Saatnya kini engkau memilih, mengurungkan niat untuk menebang
pohon itu atau kubunuh ?” bentak orang itu. “Lepaskan ! Aku akan
mengurungkan niatku,” ujar Abid menyerah.
Musuh Abid melepaskan cengkramannya. Abid
lalu berdiri sangat malu. “Aku heran, mengapa kali ini kau dapat mengalahkan
aku ? Padahal, beberapa hari yang lalu, dengan mudah aku dapat merobohkanmu ?”
keluhnya.
“Dengarlah Abid !” kata orang itu
seenaknya. “Mengapa perkelahian yang lalu engkau lebih unggul dan menang ?
Sesungguhnya ketika itu niat dalam hatimu bersih, ikhlas karena Allah. Engkau menebang
pohon dengan tujuan untuk ibadah dan memberantas kemusyrikan. Tetapi kali ini,
kemarahanmu kepadaku bukan karena Allah”.
“Karena siapa ?” tanya Abid. “Engkau
marah karena tidak mendapatkan uang di bawah tikarmu. Jadi niatmu kali ini
tidak bersih. Niatmu untuk mendapatkan uang. Lalu engkau marah. Tentu saja aku
dapat mengalahkanmu dengan mudah,” kata orang itu.
Abid terdiam. Ia menyesali perbuatannya.
Sekarang ia baru sadar kalau ia ditipu setan.
Hanya karena terpengaruh uang dan demi
kepentingan pribadi, akhirnya ia gagal menunaikan tugas sucinya.
Ikhlas
adalah Sumber Kekuatan Segalanya.
Taman,
M.Ag. Pendidikan Tarikh 12 Untuk SMA/SMK/MA Muhammadiyah, Yogyakarta:
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah
Istimewa Yogyakarta, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar