Senin, Juli 20, 2015

Pluralitas dan Pluralisme

Sebagai umat muslim patutlah kita bersyukur atas nikmat Alloh SWT. Salah satunya bersyukur adanya keanekaragaman dan perbedaan di antara sesama kita. Inilah keunikan dan keindahan yang patut kita syukuri. Alloh SWT menciptakan bermacam-macam ras, suku, bangsa dan agama di dunia ini terlebih khusus di negeri yang kita cintai ini. Kita sebagai bangsa Indonesia tentunya sudah
mengenal namanya Bhineka Tunggal ika (Berbeda-beda tapi tetap satu). Kiranya kita sudah mengerti secara umum istilah tersebut yang sudah tidak asing lagi di negri yang kita cintai ini. Namun realitanya, tidak jarang kita mendengar maupun melihat di media-media sosial, keributan maupun kericuhan sering terjadi di negeri ini. Isu yang berbau sara, entah itu dari ras, suku sampai dengan agama. Dan diantara itu semua yang mungkin sering sekali terjadinya keributan adalah masalah agama atau antar kepercayaan yang kita anut di negeri ini. Karena tidak dipungkiri bahwa agama di negeri ini sungguh sangat pluralitas, dari itulah perlu adanya sifat tasamuh (saling menghargai) dan tafahum (saling mengerti) di antara kita.
Sebelum beranjak lebih mendalam, mari kita coba telaah sedikit tentang istilah yang mungkin sudah cukup tenar dikalangan kita, yaitu pluralitas dan pluralisme. Dalam fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah jelas kita ketahui bahwa mereka mengharamkan akan adanya paham Pluralisme dikalangan umat muslim. Lalu mengapa ? apa bedanya dengan pluralitas ?
Pluralisme adalah “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative”.  Dalam mengajarkan gagasan ini mereka mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan dan sama benarnya, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Padahal didalam al-qur’an surah al-imron ayat 85, bahwa Alloh SWT menegaskan barang siapa yang mengambil/menganut agama selain agama Islam maka ia tertolak amalannya dan termasuk yang merugi kelak di hari kiamat nanti.

“Barang siapa yang mengambil/menganut agama selain agama Islam maka ia tertolak amalannya dan termasuk golongan yang merugi di hari kiamat kelak.” (Q.S. Ali Imron : 85)

Tetapi dilain sisi, Islam mengakui adanya pluralitas. Adapun pengertian pluralitas itu sendiri yaitu “sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan”. Bahkan Rasulullah saw sebagai junjungan kita sangat menghargai akan adanya pluralitas. Akan tetapi apabila sudah menyangkut masalah keyakinan, Rasulullah saw sangatlah tegas akan hal tersebut. Tanpa kompromi dan negosiasi. Mungkin kalangan umat muslim sudah sangat mengenal bunyi surah al-kafirun yang kita ketahui diakhir ayat dari surah tersebut yang artinya, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” (Q.S. Al Kafirun: 6)    
Islam mengakui akan adanya pluralitas, tetapi dalam konteks pluralitas itu sendiri hanya berlaku didalam bidang mu’amalah atau yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, bagaimana kita berinteraksi dengan baik kepada saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan. Kita dituntut berlaku adil dalam segala hal, menciptakan rasa damai pada siapapun selagi meraka tidak memerangi terlebih dahulu. Bahkan Alloh SWT mengecam bagi mereka yang yang tidak berbuat adil. Rasulullah saw pun telah membuktikannya sebagai uswatun hasanah (suri tauladan) bagi kita. Tetapi konteks tersebut tidak berlaku pada bidang aqidah, bisa kita lihat juga pada asbabun nuzul (sebab musabbab turunnya) surah alkafirun tersebut bahwa Rasulullah saw dengan tegas menolak ajakan orang-orang kafir pada saat itu. Karena itu menyangkut aqidah, lain dengan mu’amalah.
Sebagai generasi muslim, patutlah kita dalam berdakwah harus menjunjung tinggi akan adanya pluralitas dan perdamaian. Karena Islam sendiri adalah agama damai dan mencintai akan kedamaian. Lalu bagaimana caranya ? yaitu kembali kepada bagaimana dakwahnya Rasulullah saw yaitu dengan akhlaknya yang hanif (lembut). Kita sampaikan syiar Islam kepada sesama umat manusia. Karena sejatinya dalam Islam tidak ada paksaan dalam beragama, terkhusus lagi di negeri yang kita cintai ini. Dari akhlak kita dan juga perbuatan kita yang mencerminkan perangai muslim yang baik, dari sisi itulah mereka bisa menilai bahwa Islam adalah agama yang damai nan indah. Apabila Alloh SWT telah berkehendak memberi hidayah-Nya, insya Alloh hidayah tersebut pasti akan sampai pada mereka.
            Teringat akan sebuah kisah Rasulullah saw yang mendulang hikmah yang pada kisah ini sangat terlihat betapa mulianya akhlak Rasulullah saw. Dikisahkan bahwa pada waktu itu disebuah pasar sudut kota Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta, setiap pagi Rasulullah saw mendatanginya dengan membawa makanan dan tanpa sepatah kata pun Rasulullah saw selalu menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis tersebut, walaupun pengemis itu selalu berpesan “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir. Walaupun dibenci dan selalu dimaki-maki si pengemis nenek tua itu, Rasululllah saw tidak pernah marah sekalipun, bahkan dengan sangat telaten, di setiap harinya Rasulullah saw menghaluskan makanan tersebut sebelum diberikan kepada si nenek tersebut agar mudah ditelan karena gigi si nenek sudah mulai ompong. Dengan begitu si nenek bisa langsung menelannya tanpa dikunyah terlebih dahulu. Aktivitas itu dilakukan Rasulullah saw hingga beliau menjelang wafat. Setelah kewafatannya tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis buta itu.
            Hingga suatu hari Abu Bakar As-Shiddiq ra yang dibai’at menjadi khalifah pertama berharap bisa memimpin seperti kepemimpinan Rasulullah saw. Untuk itu Abu bakar ra berkunjung ke rumah anaknya Aisyah ra yang juga istri nabi, beliau berkata kepada Aisyah ra: “Anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan ? Aisyah ra menjawab pertanyaan ayahnya: ”Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah, hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukakan kecuali satu sunnah saja”. Apakah itu ? tanya Abu Bakar. “Setiap pagi Rasulullah saw selalu pergi ke ujung pasar dan membawa makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana”. Kata Aisyah ra. Keesokan harinya Abu bakar ra melakukan aktivitas tersebut. Sampai di sudut kota Abu bakar menemukan seorang nenek tersebut. Seorang pengemis buta yang tidak terurus dan memang sedang kelaparan. Tapi anehnya, mulut nenek tua itu selalu mengoceh dengan kata-kata yang selalu menghina dan mencaci Rasulullah saw.         Awalnya Abu Bakar enggan menyuapi nenek yang menghina dan mencaci Rasulullah saw. Namun karena teringat kata-kata Aisyah ra bahwa setiap hari Rasul selalu menyuapinya. Akhirnya Abu Bakar menghampiri dan menegur perempuan tua tersebut. “Wahai perempuan tua, diamlah. Sesungguhnya aku akan menyuapimu” tegur Abu Bakar. Nenek itu menjawab: “Terimakasih, tapi sebelum itu, aku hanya ingin mengingatkan engkau hai orang baik, bahwa jika kau mendengar nama Muhammad maka jauhilah karena sesungguhnya dia adalah pembohong dan pendusta”.
            Kemudian Abu Bakar menyuapi nenek buta itu. Setelah disuapinya, nenek itu marah lalu berkata: “Siapa kamu, kamu bukanlah orang yang biasa memberi aku makan ?”. Abu Bakar berkata: ”Dari mana kamu tahu kalau aku bukan orang yang biasa memberi kamu makan ?”. Nenek itu menjawab dengan ketus: “Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Dia selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut setelah itu ia berikan padaku karena ia tahu kalau gigiku tak sanggup mengunyah makanan”.
            Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya. Mengingat betapa mulianya akhlak Rasulullah saw sekalipun kepada orang yang tiap hari menghinanya dan mencacinya. Sejenak kemudian Abu Bakar berkata: ”Ketahuilah, bahwa orang yang biasa memberimu makan sudah meninggal beberpa hari yang lalu dan aku adalah sahabatnya. Ia adalah Muhammad, laki-laki yang tiap hari selalu bersabar meski kau hina dan kau caci sedangkan ia tidak pernah berhenti menyuapkan makanan kemulutmu”. Seketika itu juga kaget pengemis Yahudi buta tersebut, ia menangis mendengar penuturan dari Abu Bakar dan menyatakan penyesalannya. Pengemis Yahudi buta itupun akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar saat itu juga dan menyatakan ke-Islamannya.
            Dari hikayah atau cerita pendek tadi, kita bisa mengambil hikmah betapa muliannya akhlak Rasulullah saw. Terlebih lagi dia melakukannya kepada selain muslim. Pada akhirnya atas izin Alloh SWT berkehendak memberikan hidayah kedapa nenek tersebut. Dari itu, kembali lagi kepada kita sebagai generasi muslim, bagaimana kiat-kiat kita mengoptimalkan dakwah kita, dan sudahkah kita berdakwah sebagimana dakwahnya Rasulullah saw dengan akhlaknya yang lembut nan mulia ? Semoga kelak nanti akan lahir generasi-generasi yang menjunjung tinggi akan arti pluralitas dan sangat mencintai akan perdamaian. Juga bisa tersemaraknya syiar-syiar Islam secara meluas kepada saudara-saudara kita sesama muslim dan terlebih lagi kepada saudara kita yang non muslim, dengan bercerminkan akhlak Rasul kita Muhammad saw yang sungguh sangat mulia. Karena diutusnya Rasulullah saw dan Islam yang di sampaikannya adalah rahmatan lil ‘alamin, sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam ini. Amin ya rabbal ‘alamin.
            Ada sebuah pesan terakhir yang mungkin cukup mengena bagi kita, yaitu Jadikanlah dakwah itu sebagai VISI dalam hidup bukan PROFESI. Karena kita semua adalah da’i atau pendakwah dan wajib bagi kita untuk selalu berdakwah menyerukan nilai-nilai ke-Islaman dalam kehidupan sehari-hari kita. Bukankah kita diperintahkan oleh Alloh SWT untuk ber-amar ma’ruf nahi mungkar bukan? Semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu a’alamu bis shawaab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar