Malam kala itu sangat
gelap. Seorang pemuda keluar dari rumahnya menuju hutan belantara tempat kuil
angker dan para dukun tinggal. Hatinya ciut karena seolah-oleh ia merasakan
jalan menuju kematian. Suara jangkrik dan burung hantu, sesekali lolongan
serigala menambah seram suasana. Dengan menguatkan hati, diayunkan langkahnya
menembus kegelapan. Dia harus menghadap ketu
a dukun Samarkand, menerima tugas untuk kebaikan negerinya yang baru saja ditaklukkan kaum muslimin.
a dukun Samarkand, menerima tugas untuk kebaikan negerinya yang baru saja ditaklukkan kaum muslimin.
Akhirnya tiba juga pemuda
itu di kuil senyap dan kelam yang menyiratkan keangkeran. Seorang penjaga yang
memberi tanda rahasia menjemputnya.
Sungguh kuil yang menakutkan, misterius, dan mendirikan bulu roma.
Dukun-dukun berwajah
dingin dan pucat baru selesai bersidang, “Wahai pemuda, kemarilah !”
engkaulah pilihan kami,” kata ketua dukun. Sang pemuda tersentak. Dia
berjalan ke hadapan dukun-dukun itu, “Hanya engkau yang dapat menyelamatkan
negeri ini. Pergilah ke Damsyik, temui Amirul Mu’minin, dan laporkan bagaimana
panglima kaum muslimin menyerbu kota ini tanpa memberikan pilihan kepada kita.
Kami menunggumu demi kota ini tanpa memberikan pilihan kepada kita. Kami
menunggumu demi kota ini,” kata ketua dukun lirih.
Sang pemuda diam
tetunduk. “Demi kota ini dan penduduknya, aku siap !” katanya tegas.
Maka pergilah ia. Hari demi hari, minggu demi minggu ia berjalan melewati
wilayah-wilayah Islam yanng subur dan penduduknya yang ramah. Sungguh !
Pengalaman yang mencengangkannya. Berbeda dengan negerinya yang kelam, penuh
rahasia, dan prasangka. Kota-kota yang bersih, hijau, cerah, dan ceria. Kota
yang dihiasi dengan senyum masyarakat, yang membuatnya sangat tertarik.
Akhirnya sampailah dia di
pusat kota, dimana pemerintahan Islam dikendalikan. Hanya ragu-ragu. Terbayang
betapa sulitnya untuk menghadap raja di negerinya sendiri. Apalagi di negeri
orang, negeri kaum muslimin yang megah ini. Pusat pengendalian seluruh wilayah
muslim yang sangat luas dan subur. Pasti penjaga istana yang seram dan galak
harus dihadapinya.
Dia membesarkan hati.
Tugas ini harus dilaksanakan. Ini adalah amanah mulia para dukun dan penduduk
negerinya. Maka dimasukinya bangunan termegah, yang dikiranya adalah istana.
Tak ada penjaga. Lengang, bersih, terang dan indah. Ia terus melangkah dan
mengagumi bangunan itu. Tiba-tiba ia berbenturan dengan orang yang baru selesai
shalat.
Menyadari keasingan sang
pemuda, laki-laki yang baru saja shalat menegur dan menanyakan maksud serta
tujuannya datang ke masjid. Sang pemuda menceritakan seluruh keperluannya kepada
bapak tua itu. Dan ia sangat terkejut kalau bangunan ini bukan istana tetapi
masjid tempat orang beribadah. Sungguh di luar dugaannya, masjid kaum muslimin
demikian indah, bersih, terang, dan luas. Berbeda dengan kuil-kuil di negerinya
yang seram, angker, dan penuh kegelapan.
Tak tertahankan oleh
ketertarikannya kepada Islam, sang pemuda memohon kepada bapak tua untuk
menjelaskan Islam kepadanya. Maka diajarkannya prinsip-prinsip dasar Islam oleh
bapak tua itu secara ringkas dan sangat menarik. Si pemuda semakin tak tahan
untuk memeluk Islam. Maka dia pun bersyahadat disaksikan si bapak tua tersebut.
Bapak tua itu menunjukkan rumah Amirul Mukminin. Sebuah rumah yang sederhana.
Berangkatlah si pemuda
menuju rumah itu. Setengah tak percaya, yang ditemuinya benar-benar rumah yang
sederhana dibandingkan rumah lainnya. Dilihatnya seorang bapak yang tengah
mengecat tembok. Ia membayangkan rumah Amirul Mukminin itu besar, megah, dan
dijaga para pengawal yang gagah berani lagi menyeramkan. Karena tak yakin,
pemuda itu kembali menemui bapak tua. Si bapak tua meyakinkan sekali bahwa
rumah sederhana itu adalah kediaman Amirul Mukminin dan yang sedang mengecat
rumah itu adalah beliau. Maka sontak si pemuda kembali ke rumah sederhana tadi.
Singkat kata,
diceritakanlah semua yang terjadi di Samarkand oleh sang pemuda kepada Amirul
Mukminin. Khalifah sungguh terkejut dan segera menulis surat untuk wali kota
muslim Samarkand agar menggelar pengadilan untuk itu.
Sungguh bahagia hati sang
pemuda karena berhasil menemui Amirul Mukminin dengan sangat mudah. Mendapatkan
keramahan dan hadiah untuk dibawa pulang. Tak terbayangkan sebelumnya, bahkan
sungguh berbeda dengan kenyataan di negerinya sendiri. Hatinya gembira karena
telah menjadi muslim. Selama perjalanan pulang, setiap ada panggilan adzan dia
selalu shalat berjama’ah. Dia telah menjadi bagian dari kaum muslimin. Hidupnya
terasa indah dan penuh cahaya.
Sesampai di Samarkand,
segera dia menghadap ketua dukun menyerahkan surat untuk walikota dan
menceritakan seluruh pengalaman indahnya di negeri muslim kepada para
sahabatnya.
Maka waktu pengadilan pun
tiba. Panglima Qutaibah didampingi prajurit muslim duduk menjadi terdakwa.
Ketua dukun duduk sebagai penuntut mewakili rakyat Samarkand, mereka siap
menunggu kedatangan Qadli Jumaih bin Hadir al-Baji.
Rasa pesimis menghantui
ketua dukun dan penduduk Samarkand. “Mana mungkin mereka menang dari
pengadilan yang digelar oleh walikota muslim dengan qadli dari kaum muslimin
yang kurus dan berwajah pucat. Apalagi menghadapi panglima Qutaibah yang gagah
perkasa,” kata mereka membatin. Di negeri mereka,kekuasaanlah yang menjadi
panglima. Apalagi kasus yang dihadapi Panglima Qutaibah sangat remeh, yakni
tidak memberikan pilihan kepada penduduk sebelum menaklukkan Samarkand. Hal
yang lumrah dilakukan para panglima perang dari negeri manapun. Apalagi negeri
ini jauh dari tempat Amirul Mukminin. Apakah walikota akan tetap taat kepada
pimpinannya ? Kabut kekhawatiran menyelinap di mata ketua dukun.
Keheningan segera sirna
ketika Qadli datang. Semua memberi hormat. Pengadilan dimulai. Dengan tegas si
Qadli bertanya kepada ketua dukun tentang apa yang menjadi tuntutannya. Lalu si
Qadli bertanya kepada Panglima Qutaibah, tentang apa yang dituduhnya. Maka
Panglima Qutaibah membela diri, “Wahai Qadli, memang aku melakukan apa yang
dituduhkan itu. Tidak memberi kesempatan bagi penduduk untuk memilih. Namun,
bukankah perang adalah tipu daya. Setiap panglima ingin memenangkan
pertempurannya, sebagaimana juga aku. Dan ini adalah takdir yang menyelamatkan
penduduk Samarkand dari kekufuran. Aku merasa tindakanku tidak salah.”
Mendengar jawaban
Panglima Qutaibah, Qadli al-Baji dengan suara keras dan berwibawa langsung
menjawab, “Wahai panglima dan prajurit kaum muslimin, dengarkanlah aku !
Kita keluar dari rumah berjihad fi sabilillah untuk mencari ridha Allah. Kita
datang ke negeri ini bukan untuk merampok dan menguasai tanah orang lain.
Seperti yang diperintahkan islam, sebelum menyerang kita harus menawarkan
penduduk untuk masuk Islam, sebelum menyerang kita harus menawarkan penduduk
untuk masuk Islam. bila tidak bersedia, maka kaum muslimin siap menjadi
pelindung dan penduduk wajib membayar pajak perlindungan (jizyah). Bila tidak
bersedia, biarkanlah kaum muslimin berdakwah di negeri itu tanpa diganggu.
Kalau itu dtolak, baru laksanakan penyerbuan. Dengarkanlah keputusanku: kalian
semua harus keluar dari negeri ini. Aku beri kesempatan 24 jam !”.
Ketua dukun dan penduduk
Samarkand terbelalak tak percaya. Qadli kurus dan pucat itu ternyata sungguh
berwibawa. Panglima Qutaibah yang gagah ternyata tunduk pada keputusan qadli.
Pengadilan Islam sungguh mulia. Mereka termangu bingung tak menyangka. Qadli,
penglima, dan prajurit muslim sudah bubar dari ruang sidang. Hanya tersisa para
dukun, dan penduduk Samarkand.
Kemudia kota menjadi
berisik dengan suara genderang yang ditabuh dan suara terompot yang ditiup.
Panglima sudah memberikan aba-aba untuk segera meninggalkan negeri itu dan
kembali masuk dengan cara yang lazim. Sang pemuda utusan, penduduk, dan para dukun
tengah berunding serius tentang apa yang harus mereka lakukan. Mereka sungguh
terkejut, ternyata prajurit muslim yang perkasa dan gagah berani dengan mudah
pergi menuruti keputusan si qadli kurus. Sungguh mustahil.
Ketika si pemuda
menceritakan pengalamannya ke negeri muslim yang subur dan saat bertemu Amirul
Mukminin yang bijaksana, ketua dukun semakin mantap mengusulkan agar mereka
semua masuk Islam. Apalagi ketika si pemuda utusan menyatakan bahwa dia telah
memeluk Islam sejak berada di negeri muslim. Maka bergemurulah suara sepakat
dari penduduk Samarkand untuk memeluk Islam. Suara takbir dan tahmid pun
bergema. Namun terlambat, pasukan muslim sudah bergerak pergi.
Selama tiga hari mereka
menunggu kedatangan prajurit muslim. Penduduk Samarkand menyiapkan hidangan
untuk menyambut kedatangan saudaranya seiman. Pasukan muslim datang ke
Samarkand. Setelah tiga tawaran diajukan dan tak ada jawaban, pasukan muslim
maju menyerbu Samarkand. Mereka tidak mendapati pasukan dan penduduk Samarkand
yang siap bertempur. Sebaliknya, pasukan muslim mendapati penduduk Samarkand
menyambut mereka dengan suara takbir dan tahmid serta hidangan-hidangan lezat
untuk mereka. Prajurit Islam serentak melompat dari kuda-kuda mereka dan
memeluk penduduk Samarkand, saudara mereka seiman. Hari itu kota Samarkand
terguncang oleh suara takbir, tahmid, dan tahlil. Kabut gelap sirna, keangkeran
terbang, cahaya masa depan yang cerah menanti. Kekuasaan hanya mampu
menguasai tanah, keadilan mampu menundukkan hati.
Taman,
M.Ag. Pendidikan Tarikh 12
Untuk SMA/SMK/MA Muhammadiyah, Yogyakarta:
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah
Istimewa Yogyakarta, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar