Rabu, September 16, 2015

Penyerbuan Samarkand

Malam kala itu sangat gelap. Seorang pemuda keluar dari rumahnya menuju hutan belantara tempat kuil angker dan para dukun tinggal. Hatinya ciut karena seolah-oleh ia merasakan jalan menuju kematian. Suara jangkrik dan burung hantu, sesekali lolongan serigala menambah seram suasana. Dengan menguatkan hati, diayunkan langkahnya menembus kegelapan. Dia harus menghadap ketu
a dukun Samarkand, menerima tugas untuk kebaikan negerinya yang baru saja ditaklukkan kaum muslimin.
Akhirnya tiba juga pemuda itu di kuil senyap dan kelam yang menyiratkan keangkeran. Seorang penjaga yang memberi  tanda rahasia menjemputnya. Sungguh kuil yang menakutkan, misterius, dan mendirikan bulu roma.
Dukun-dukun berwajah dingin dan pucat baru selesai bersidang, “Wahai pemuda, kemarilah !” engkaulah pilihan kami,” kata ketua dukun. Sang pemuda tersentak. Dia berjalan ke hadapan dukun-dukun itu, “Hanya engkau yang dapat menyelamatkan negeri ini. Pergilah ke Damsyik, temui Amirul Mu’minin, dan laporkan bagaimana panglima kaum muslimin menyerbu kota ini tanpa memberikan pilihan kepada kita. Kami menunggumu demi kota ini tanpa memberikan pilihan kepada kita. Kami menunggumu demi kota ini,” kata ketua dukun lirih.
Sang pemuda diam tetunduk. “Demi kota ini dan penduduknya, aku siap !” katanya tegas. Maka pergilah ia. Hari demi hari, minggu demi minggu ia berjalan melewati wilayah-wilayah Islam yanng subur dan penduduknya yang ramah. Sungguh ! Pengalaman yang mencengangkannya. Berbeda dengan negerinya yang kelam, penuh rahasia, dan prasangka. Kota-kota yang bersih, hijau, cerah, dan ceria. Kota yang dihiasi dengan senyum masyarakat, yang membuatnya sangat tertarik.
Akhirnya sampailah dia di pusat kota, dimana pemerintahan Islam dikendalikan. Hanya ragu-ragu. Terbayang betapa sulitnya untuk menghadap raja di negerinya sendiri. Apalagi di negeri orang, negeri kaum muslimin yang megah ini. Pusat pengendalian seluruh wilayah muslim yang sangat luas dan subur. Pasti penjaga istana yang seram dan galak harus dihadapinya.
Dia membesarkan hati. Tugas ini harus dilaksanakan. Ini adalah amanah mulia para dukun dan penduduk negerinya. Maka dimasukinya bangunan termegah, yang dikiranya adalah istana. Tak ada penjaga. Lengang, bersih, terang dan indah. Ia terus melangkah dan mengagumi bangunan itu. Tiba-tiba ia berbenturan dengan orang yang baru selesai shalat.
Menyadari keasingan sang pemuda, laki-laki yang baru saja shalat menegur dan menanyakan maksud serta tujuannya datang ke masjid. Sang pemuda menceritakan seluruh keperluannya kepada bapak tua itu. Dan ia sangat terkejut kalau bangunan ini bukan istana tetapi masjid tempat orang beribadah. Sungguh di luar dugaannya, masjid kaum muslimin demikian indah, bersih, terang, dan luas. Berbeda dengan kuil-kuil di negerinya yang seram, angker, dan penuh kegelapan.
Tak tertahankan oleh ketertarikannya kepada Islam, sang pemuda memohon kepada bapak tua untuk menjelaskan Islam kepadanya. Maka diajarkannya prinsip-prinsip dasar Islam oleh bapak tua itu secara ringkas dan sangat menarik. Si pemuda semakin tak tahan untuk memeluk Islam. Maka dia pun bersyahadat disaksikan si bapak tua tersebut. Bapak tua itu menunjukkan rumah Amirul Mukminin. Sebuah rumah yang sederhana.
Berangkatlah si pemuda menuju rumah itu. Setengah tak percaya, yang ditemuinya benar-benar rumah yang sederhana dibandingkan rumah lainnya. Dilihatnya seorang bapak yang tengah mengecat tembok. Ia membayangkan rumah Amirul Mukminin itu besar, megah, dan dijaga para pengawal yang gagah berani lagi menyeramkan. Karena tak yakin, pemuda itu kembali menemui bapak tua. Si bapak tua meyakinkan sekali bahwa rumah sederhana itu adalah kediaman Amirul Mukminin dan yang sedang mengecat rumah itu adalah beliau. Maka sontak si pemuda kembali ke rumah sederhana tadi.
Singkat kata, diceritakanlah semua yang terjadi di Samarkand oleh sang pemuda kepada Amirul Mukminin. Khalifah sungguh terkejut dan segera menulis surat untuk wali kota muslim Samarkand agar menggelar pengadilan untuk itu.
Sungguh bahagia hati sang pemuda karena berhasil menemui Amirul Mukminin dengan sangat mudah. Mendapatkan keramahan dan hadiah untuk dibawa pulang. Tak terbayangkan sebelumnya, bahkan sungguh berbeda dengan kenyataan di negerinya sendiri. Hatinya gembira karena telah menjadi muslim. Selama perjalanan pulang, setiap ada panggilan adzan dia selalu shalat berjama’ah. Dia telah menjadi bagian dari kaum muslimin. Hidupnya terasa indah dan penuh cahaya.
Sesampai di Samarkand, segera dia menghadap ketua dukun menyerahkan surat untuk walikota dan menceritakan seluruh pengalaman indahnya di negeri muslim kepada para sahabatnya.
Maka waktu pengadilan pun tiba. Panglima Qutaibah didampingi prajurit muslim duduk menjadi terdakwa. Ketua dukun duduk sebagai penuntut mewakili rakyat Samarkand, mereka siap menunggu kedatangan Qadli Jumaih bin Hadir al-Baji.
Rasa pesimis menghantui ketua dukun dan penduduk Samarkand. “Mana mungkin mereka menang dari pengadilan yang digelar oleh walikota muslim dengan qadli dari kaum muslimin yang kurus dan berwajah pucat. Apalagi menghadapi panglima Qutaibah yang gagah perkasa,” kata mereka membatin. Di negeri mereka,kekuasaanlah yang menjadi panglima. Apalagi kasus yang dihadapi Panglima Qutaibah sangat remeh, yakni tidak memberikan pilihan kepada penduduk sebelum menaklukkan Samarkand. Hal yang lumrah dilakukan para panglima perang dari negeri manapun. Apalagi negeri ini jauh dari tempat Amirul Mukminin. Apakah walikota akan tetap taat kepada pimpinannya ? Kabut kekhawatiran menyelinap di mata ketua dukun.
Keheningan segera sirna ketika Qadli datang. Semua memberi hormat. Pengadilan dimulai. Dengan tegas si Qadli bertanya kepada ketua dukun tentang apa yang menjadi tuntutannya. Lalu si Qadli bertanya kepada Panglima Qutaibah, tentang apa yang dituduhnya. Maka Panglima Qutaibah membela diri, “Wahai Qadli, memang aku melakukan apa yang dituduhkan itu. Tidak memberi kesempatan bagi penduduk untuk memilih. Namun, bukankah perang adalah tipu daya. Setiap panglima ingin memenangkan pertempurannya, sebagaimana juga aku. Dan ini adalah takdir yang menyelamatkan penduduk Samarkand dari kekufuran. Aku merasa tindakanku tidak salah.”
Mendengar jawaban Panglima Qutaibah, Qadli al-Baji dengan suara keras dan berwibawa langsung menjawab, “Wahai panglima dan prajurit kaum muslimin, dengarkanlah aku ! Kita keluar dari rumah berjihad fi sabilillah untuk mencari ridha Allah. Kita datang ke negeri ini bukan untuk merampok dan menguasai tanah orang lain. Seperti yang diperintahkan islam, sebelum menyerang kita harus menawarkan penduduk untuk masuk Islam, sebelum menyerang kita harus menawarkan penduduk untuk masuk Islam. bila tidak bersedia, maka kaum muslimin siap menjadi pelindung dan penduduk wajib membayar pajak perlindungan (jizyah). Bila tidak bersedia, biarkanlah kaum muslimin berdakwah di negeri itu tanpa diganggu. Kalau itu dtolak, baru laksanakan penyerbuan. Dengarkanlah keputusanku: kalian semua harus keluar dari negeri ini. Aku beri kesempatan 24 jam !”.
Ketua dukun dan penduduk Samarkand terbelalak tak percaya. Qadli kurus dan pucat itu ternyata sungguh berwibawa. Panglima Qutaibah yang gagah ternyata tunduk pada keputusan qadli. Pengadilan Islam sungguh mulia. Mereka termangu bingung tak menyangka. Qadli, penglima, dan prajurit muslim sudah bubar dari ruang sidang. Hanya tersisa para dukun, dan penduduk Samarkand.
Kemudia kota menjadi berisik dengan suara genderang yang ditabuh dan suara terompot yang ditiup. Panglima sudah memberikan aba-aba untuk segera meninggalkan negeri itu dan kembali masuk dengan cara yang lazim. Sang pemuda utusan, penduduk, dan para dukun tengah berunding serius tentang apa yang harus mereka lakukan. Mereka sungguh terkejut, ternyata prajurit muslim yang perkasa dan gagah berani dengan mudah pergi menuruti keputusan si qadli kurus. Sungguh mustahil.
Ketika si pemuda menceritakan pengalamannya ke negeri muslim yang subur dan saat bertemu Amirul Mukminin yang bijaksana, ketua dukun semakin mantap mengusulkan agar mereka semua masuk Islam. Apalagi ketika si pemuda utusan menyatakan bahwa dia telah memeluk Islam sejak berada di negeri muslim. Maka bergemurulah suara sepakat dari penduduk Samarkand untuk memeluk Islam. Suara takbir dan tahmid pun bergema. Namun terlambat, pasukan muslim sudah bergerak pergi.
Selama tiga hari mereka menunggu kedatangan prajurit muslim. Penduduk Samarkand menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan saudaranya seiman. Pasukan muslim datang ke Samarkand. Setelah tiga tawaran diajukan dan tak ada jawaban, pasukan muslim maju menyerbu Samarkand. Mereka tidak mendapati pasukan dan penduduk Samarkand yang siap bertempur. Sebaliknya, pasukan muslim mendapati penduduk Samarkand menyambut mereka dengan suara takbir dan tahmid serta hidangan-hidangan lezat untuk mereka. Prajurit Islam serentak melompat dari kuda-kuda mereka dan memeluk penduduk Samarkand, saudara mereka seiman. Hari itu kota Samarkand terguncang oleh suara takbir, tahmid, dan tahlil. Kabut gelap sirna, keangkeran terbang, cahaya masa depan yang cerah menanti. Kekuasaan hanya mampu menguasai tanah, keadilan mampu menundukkan hati.

Taman, M.Ag. Pendidikan Tarikh 12 Untuk SMA/SMK/MA Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar