Rabu, Juni 22, 2016

Hukuman Fisik Dalam Perspektif Pendidikan Islam

Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan manusia selaku hamba Allah. Sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.[1] Sedangkan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri adalah terwujudnya menusia sempurna. Atau manusia bertakwa kepada Allah SWT.[2]

Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai pembebas dari himpitan kebodohan dan keterbelakangan.

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia/pribadi muslim seutuhnya. Mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan Islam berupaya mengembangkan individu sepenuhnya. Maka sudah sewajarnya untuk dapat memahami hakikat pendidikan Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam.

Al-Qur’an meletakkan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dibumi "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di mukabumi." Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."[3]

Esensi makna khalifah adalah orang yang diberi amanah oleh Allah SWT untuk memimpin alam, dalam hal memelihara dan memanfaatkannya guna mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh manusia di muka bumi ini.

Manusia merupakan makhluk pilihan Allah SWT  yang berfungsi mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifah Allah dan Abdullah (hamba Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut,  manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Menurut M. Quraish Shihab potensi-potensi tersebut berupa jasmani akal dan rohani.[4]

Potensi-potensi yang dimiliki tersebut hendaknya dibina. Pembinaan jasmani akan menghasilkan keterampilan, pembinaan akal akan menghasilkan ilmu dan pembinaan rohani akan menghasilkan akhlak atau etika. Dalam rangka pembinaan tersebut tidak harus dengan cara kekerasan atau dengan memberikan hukuman fisik. Secara umum, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi korban.

Dewasa kini, tindakan kekerasan dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik dapat diidentifikasikan berupa tindakan pemukulan (menggunakan tangan atau alat), penamparan, dan tendangan. Dampaknya, tindakan tersebut dapat menimbulkan bekas luka atau memar pada tubuh. Bahkan dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan kecacatan permanen yang harus ditanggung seumur hidup bagi korban.

Adapun kekerasan psikis antara lain berupa tindakan mengejek atau menghina, mengintimidasi, menunjukkan sikap atau ekspresi tidak senang, dan tindakan atau ucapan yang melukai perasaan orang lain. Dampak kekerasan secara psikis dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, takut, tegang, bahkan dapat menimbulkan efek traumatis yang cukup lama. Selain itu, karena tidak tampak secara fisik, penanggulangannya menjadi cukup sulit karena biasanya korban enggan mengungkapkan atau menceritakannya. Dampak lain yang timbul dari efek bullying ini adalah korban cenderung menjadi pendiam, penyendiri, minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres dan masih banyak lagi. Sehingga korban tidak bisa konsentrasi dalam proses belajar. Sudah terdapat dalam beberapakasus yang lebih parah adalah dapat mengakibatkan bunuh diri.[5]

Maraknya beberapa tayangan kekerasan dalam dunia pendidikan, khususnya yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya ataupun oleh siswa terhadap temannya, seharusnya mampu membuka serta menggugah hati kita sebagai seorang pendidik ataupun calon pendidik. Tidak menutup kemungkinan bahwa praktik bullying tersebut juga terjadi pula di lingkungan sekitar kita. Memang terkadang pemberitaan yang kurang berimbang tentang suatu tayangan kekerasan dapat mencoreng nama baik pelaku -baik oknum guru maupun murid- dan secara umum mencoreng nama baik sekolah yang bersangkutan. Tentunya peran media sebagai jendela informasi harus menelusuri secara komprehensif kejadian tersebut. Senantiasa menyajikan berita dari segala aspek dan tidak hanya mengeksploitasi tindakan kekerasannya saja.

Dampak Hukuman Badan bagi Peserta didik

Apabila kita bertanya, dapatkah dilakukan suatu hukuman yang sama oleh seorang pendidik terhadap beberapa anak akan menghasilkan dampak yang sama pula? Maka jawabnya adalah “Belum tentu” dan bisa juga “Tidak mungkin”. Biarpun demikian, setiap hukuman mengandung maksud yang sama, yakni bertujuan untuk memperbaiki watak dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu dapat diharapkan.
M. Ngalim Purwanto mengatakan ada tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu:[6]
1.    Menimbulkan perasaan dendam pada bagi terhukum. Akibat ini harus dihindari karena hukuman ini adalah akibat dari hukuman yang sewengan-wenang dan tanpa tanggung jawab.
2.     Anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang diharapkan oleh pendidik.
3.     Pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, karena si pelanggar merasa telah membayar hukumannya dengan hukuman yang telah diterimanya.

Armai Arief dalam Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam mengatakan bahwa dampak negatif yang muncul dari pemberian hukuman yang tidak efektif, antara lain
1.     Membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri.
2.   Murid akan selalu meras sempit hati, bersitat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta (karena takut dihukum)
3.     Mengurangi keberanian anak untuk bertindak.

Muhammad bin ‘Abdullah Sahim mengatakan dampak jelek bagi anak atas hukuman yang menggunakan kekerasan, yaitu:[7]
1.     Mewariskan pada diri anak kebodohan dan kedunguan
2.    Anak akan merasa rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan diarahkan oleh anak yang lebih kecil sekalipun
3.     Suka membangkang sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya.

Sebenarnya ada banyak metode yang bisa dipakai untuk menumbuhkan kepatuhan dan kedisiplinan. Namun, jika semua metode tersebut sudah tidak menimbulkan efek jera, hukuman badan bisa dijadikan jalan terakhir untuk menumbuhkan kedisiplinan dan kepatuhan. Namun, hukuman badan bila terus-menerus diberikan akan berdampak pada fisik dan psikologis anak tersebut.

Hukuman fisik dalam kategori ringan sangat diperbolehkan dalam pendidikan Islam. Bahkan apabila kita tengok sedikit bagaimana orang tua dahulu mendidik anak didiknya bahkan anaknya sendiri pun dididik dengan sedikit keras dan tegas. Bisa dilihat bagaimana generasi setelah itu menyadari akan maksud guru/orang tuanya mendidik dengan cara tersebut.

Sungguh mengherankan memang, penulis pernah menemukan beberapa kasus di Internet saat ini ada seorang guru yang hanya sekedar “mencubit” sebagai peringatan kepada anak didiknya, lalu dijebloskan ke penjara oleh orang tua murid dengan berlindung atas nama HAM dan perlindungan anak. Sangat bertolak belakang dengan kondisi orang tua murid dahulu yang menasihati anaknya apabila “manja” dengan hal-hal sepele seperti kasus diatas. Cobalah bagi siapapun yang pernah terjun di dunia pendidikan, pernah mengajar dan langsung berhadapan dengan beberapa karakter anak yang heterogen. Pasti adakalanya terdapat beberapa karakter anak yang nakal dan tidak bisa hanya diperingatkan dengan kata-kata manis biasa. Apabila budaya manja saat ini masih dipelihara, tentu tidak bisa membayangkan bagaimana kedepan selanjutnya akan muncul generasi yang manja, tidak mengerti adab dan sopan santun terhadap guru terlebih kepada orang tuanya sendiri. Mungkin itulah sebab munculnya istilah Pendidikan Karakter pada kurikulum 2013. Karena negara dan bangsa ini tidak akan kehabisan orang pintar dan cerdas di setiap bidangnya, namun krisis pribadi yang berkarater kuat, bermoral baik, jujur dan tahu akan adab dan sopan santun.     

Ketahuilah bahwa tingkatan adab itu diatas ilmu. Belajarlah dari santri pondok pesantren bagaimana hormatnya mereka terhadap kyai nya tatkala selesai memberikan ilmu. Berbondong-bondong mencium tangan kyainya dengan mengharapkan ridho dan do’a bagi dirinya. Bukanlah ghuluw atau berlebihan, akan tetapi ini adalah adab, akhlak, dan bentuk rasa hormat. Sungguh do’a sang guru kepada muridnya yang mengajarkan secara ikhlas, akan terkabulkan dan sampai kepada para murid/santrinya atas izin Allah SWT. Itulah Indahnya Pendidikan Islam mengajarkan kita semua.

Hukuman fisik ini bisa digunakan dalam keadaan yang sangat darurat seperti menghukum sebagian murid yang melakukan penyimpangan karena tidak ada lagi hukuman yang bisa membuatnya jera kecuali dengan hukuman fisik, atau untuk menjaga wibawa (kehormtan) dan tata tertib sekolah setelah para guru memberikan nasehat dan arahan kepada murid yang bersangkutan. Hal ini sebagiamana diungkapkan dalam sebuah pepatah orang Arab “Obat yang paling akhir adalah dibakar besi”.[8]

Dalam pandangan Islam hukuman badan atau fisik merupakan alternatif terakhir dalam mendidik anak. Seperti dalam hadits berikut ini:
Suruhlah anak-anakmu melakukan shalat di waktu dia berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika sudah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka (maksudnya antara anak laki-laki dan perempuan)” (HR. Abu Daud).

Dalam hadits di atas disebutkan “pukullah mereka jika sudah berumur sepuluh tahun”. Artinya jika anak sudah berada di “batas akhir” dan masih melakukan hal yang dilarang, maka pendidik atau orang tua boleh memberikan hukuman fisik sesuai ketentuan yang berlaku. Sudah sepantasnyalah kita mencontoh Rasulullah saw sebagai seorang pendidik yang baik dalam bersikap kepada anak, sehingga hukuman benar-benar dapat efektif.


[1] Prof. H. M. Arifin, MED, IlmuPendidikan Islam (Bandung: BumiAksara, 1989) hlm. 24.
[2] Dr. Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja RosdaKarya) hlm. 41.
[3] Q.S Al Baqarah : 30.
[4]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 175.
[5] http://impai.blogspot.com
[6] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hlm. 177.
[7] Muhammad bin ‘Abdullah as-Sahim, 15 Kealahan Fatal Mendidik Anak dan Cara Islami memperbaikinya, terj. Abu Shafiya (Yogyakarta, 2002), hlm. 13.
[8] Ibid. hlm. 166.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar