Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh
aspek kehidupan yang dibutuhkan manusia selaku hamba Allah. Sebagaimana Islam telah
menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.[1] Sedangkan
tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri adalah terwujudnya menusia sempurna.
Atau manusia bertakwa kepada Allah SWT.[2]
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai moral untuk membentengi
diri dari akses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana
nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai
pembebas dari himpitan kebodohan dan keterbelakangan.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk
manusia/pribadi muslim seutuhnya. Mengembangkan seluruh potensi manusia baik
yang berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap
pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan Islam
berupaya mengembangkan individu sepenuhnya. Maka sudah sewajarnya untuk dapat memahami
hakikat pendidikan Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut
Islam.
Al-Qur’an meletakkan kedudukan manusia sebagai khalifah
Allah dibumi "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di mukabumi." Mereka
berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."[3]
Esensi makna khalifah adalah orang yang diberi amanah oleh
Allah SWT untuk memimpin alam, dalam hal memelihara dan memanfaatkannya guna mendatangkan
kemaslahatan bagi seluruh manusia di muka bumi ini.
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah SWT yang berfungsi mengembangkan tugas ganda,
yaitu sebagai khalifah Allah dan Abdullah (hamba Allah). Untuk
mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam
dirinya. Menurut M. Quraish Shihab potensi-potensi tersebut berupa jasmani akal dan rohani.[4]
Potensi-potensi yang dimiliki tersebut
hendaknya dibina. Pembinaan jasmani akan menghasilkan keterampilan, pembinaan akal akan menghasilkan ilmu dan pembinaan rohani akan menghasilkan akhlak atau etika. Dalam rangka pembinaan tersebut tidak harus dengan cara kekerasan atau dengan memberikan
hukuman fisik. Secara umum, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi korban.
Dewasa kini, tindakan kekerasan dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik
dan psikis. Kekerasan fisik dapat diidentifikasikan berupa tindakan pemukulan
(menggunakan tangan atau alat), penamparan, dan tendangan. Dampaknya, tindakan tersebut
dapat menimbulkan bekas luka atau memar pada tubuh. Bahkan dalam kasus tertentu
dapat mengakibatkan kecacatan permanen yang harus ditanggung seumur hidup bagi korban.
Adapun kekerasan psikis antara lain berupa tindakan mengejek atau menghina,
mengintimidasi, menunjukkan sikap atau ekspresi tidak senang, dan tindakan atau
ucapan yang melukai perasaan orang lain. Dampak kekerasan secara psikis dapat menimbulkan
perasaan tidak nyaman, takut, tegang, bahkan dapat menimbulkan efek traumatis
yang cukup lama. Selain itu, karena tidak tampak secara fisik,
penanggulangannya menjadi cukup sulit karena biasanya korban enggan mengungkapkan
atau menceritakannya. Dampak lain yang timbul dari efek bullying ini adalah
korban cenderung menjadi pendiam, penyendiri, minder dan canggung dalam bergaul,
tidak mau sekolah, stres dan masih banyak lagi. Sehingga korban tidak bisa konsentrasi
dalam proses belajar. Sudah terdapat dalam beberapakasus yang lebih parah
adalah dapat mengakibatkan bunuh diri.[5]
Maraknya beberapa tayangan kekerasan dalam dunia pendidikan,
khususnya yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya ataupun oleh siswa terhadap
temannya, seharusnya mampu membuka serta menggugah hati kita sebagai seorang
pendidik ataupun calon pendidik. Tidak menutup kemungkinan bahwa praktik bullying
tersebut juga terjadi pula di lingkungan sekitar kita. Memang terkadang pemberitaan
yang kurang berimbang tentang suatu tayangan kekerasan dapat mencoreng nama baik
pelaku -baik oknum guru maupun murid- dan secara umum mencoreng nama baik sekolah
yang bersangkutan. Tentunya peran media sebagai jendela informasi harus menelusuri
secara komprehensif kejadian tersebut. Senantiasa menyajikan berita dari segala
aspek dan tidak hanya mengeksploitasi tindakan kekerasannya saja.
Dampak
Hukuman Badan bagi Peserta didik
Apabila kita
bertanya, dapatkah dilakukan suatu hukuman yang sama oleh seorang pendidik
terhadap beberapa anak akan menghasilkan dampak yang sama pula? Maka jawabnya
adalah “Belum tentu” dan bisa juga “Tidak mungkin”. Biarpun demikian, setiap
hukuman mengandung maksud yang sama, yakni bertujuan untuk memperbaiki watak
dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu dapat diharapkan.
M. Ngalim
Purwanto mengatakan ada tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu:[6]
1. Menimbulkan
perasaan dendam pada bagi terhukum. Akibat ini harus dihindari karena hukuman
ini adalah akibat dari hukuman yang sewengan-wenang dan tanpa tanggung jawab.
2. Anak menjadi
lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang diharapkan
oleh pendidik.
3. Pelanggar menjadi
kehilangan perasaan salah, karena si pelanggar merasa telah membayar hukumannya
dengan hukuman yang telah diterimanya.
Armai Arief
dalam Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam mengatakan bahwa
dampak negatif yang muncul dari pemberian hukuman yang tidak efektif, antara
lain
1. Membangkitkan
suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri.
2. Murid akan
selalu meras sempit hati, bersitat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta
(karena takut dihukum)
3. Mengurangi
keberanian anak untuk bertindak.
Muhammad bin
‘Abdullah Sahim mengatakan dampak jelek bagi anak atas hukuman yang menggunakan
kekerasan, yaitu:[7]
1. Mewariskan
pada diri anak kebodohan dan kedunguan
2. Anak akan
merasa rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan diarahkan oleh anak
yang lebih kecil sekalipun
3. Suka
membangkang sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya.
Sebenarnya
ada banyak metode yang bisa dipakai untuk menumbuhkan kepatuhan dan
kedisiplinan. Namun, jika semua metode tersebut sudah tidak menimbulkan efek
jera, hukuman badan bisa dijadikan jalan terakhir untuk menumbuhkan
kedisiplinan dan kepatuhan. Namun, hukuman badan bila terus-menerus diberikan
akan berdampak pada fisik dan psikologis anak tersebut.
Hukuman
fisik dalam kategori ringan sangat diperbolehkan dalam pendidikan Islam. Bahkan
apabila kita tengok sedikit bagaimana orang tua dahulu mendidik anak didiknya
bahkan anaknya sendiri pun dididik dengan sedikit keras dan tegas. Bisa dilihat
bagaimana generasi setelah itu menyadari akan maksud guru/orang tuanya mendidik
dengan cara tersebut.
Sungguh
mengherankan memang, penulis pernah menemukan beberapa kasus di Internet saat
ini ada seorang guru yang hanya sekedar “mencubit” sebagai peringatan kepada
anak didiknya, lalu dijebloskan ke penjara oleh orang tua murid dengan
berlindung atas nama HAM dan perlindungan anak. Sangat bertolak belakang dengan
kondisi orang tua murid dahulu yang menasihati anaknya apabila “manja” dengan
hal-hal sepele seperti kasus diatas. Cobalah bagi siapapun yang pernah terjun
di dunia pendidikan, pernah mengajar dan langsung berhadapan dengan beberapa karakter
anak yang heterogen. Pasti adakalanya terdapat beberapa karakter anak yang
nakal dan tidak bisa hanya diperingatkan dengan kata-kata manis biasa. Apabila
budaya manja saat ini masih dipelihara, tentu tidak bisa membayangkan bagaimana
kedepan selanjutnya akan muncul generasi yang manja, tidak mengerti adab dan
sopan santun terhadap guru terlebih kepada orang tuanya sendiri. Mungkin itulah
sebab munculnya istilah Pendidikan Karakter pada kurikulum 2013. Karena negara
dan bangsa ini tidak akan kehabisan orang pintar dan cerdas di setiap
bidangnya, namun krisis pribadi yang berkarater kuat, bermoral baik, jujur dan
tahu akan adab dan sopan santun.
Ketahuilah
bahwa tingkatan adab itu diatas ilmu. Belajarlah dari santri pondok pesantren
bagaimana hormatnya mereka terhadap kyai nya tatkala selesai memberikan ilmu.
Berbondong-bondong mencium tangan kyainya dengan mengharapkan ridho dan do’a
bagi dirinya. Bukanlah ghuluw atau berlebihan, akan tetapi ini adalah
adab, akhlak, dan bentuk rasa hormat. Sungguh do’a sang guru kepada muridnya
yang mengajarkan secara ikhlas, akan terkabulkan dan sampai kepada para
murid/santrinya atas izin Allah SWT. Itulah Indahnya Pendidikan Islam
mengajarkan kita semua.
Hukuman fisik ini bisa digunakan
dalam keadaan yang sangat darurat seperti menghukum sebagian murid yang
melakukan penyimpangan karena tidak ada lagi hukuman yang bisa membuatnya jera
kecuali dengan hukuman fisik, atau untuk menjaga wibawa (kehormtan) dan tata
tertib sekolah setelah para guru memberikan nasehat dan arahan kepada murid
yang bersangkutan. Hal ini sebagiamana diungkapkan dalam sebuah pepatah orang
Arab “Obat yang paling akhir adalah dibakar besi”.[8]
Dalam
pandangan Islam hukuman badan atau fisik merupakan alternatif terakhir dalam
mendidik anak. Seperti dalam hadits berikut ini:
“Suruhlah
anak-anakmu melakukan shalat di waktu dia berumur tujuh tahun, dan pukullah
mereka jika sudah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur di antara
mereka (maksudnya antara anak laki-laki dan perempuan)” (HR. Abu Daud).
Dalam hadits di atas disebutkan “pukullah mereka
jika sudah berumur sepuluh tahun”. Artinya jika anak sudah berada di “batas
akhir” dan masih melakukan hal yang dilarang, maka pendidik atau orang tua
boleh memberikan hukuman fisik sesuai ketentuan yang berlaku. Sudah sepantasnyalah kita mencontoh Rasulullah saw sebagai
seorang pendidik yang baik dalam bersikap kepada anak, sehingga hukuman benar-benar
dapat efektif.
[3] Q.S Al Baqarah
: 30.
[4]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 175.
[5]
http://impai.blogspot.com
[7] Muhammad bin ‘Abdullah as-Sahim, 15 Kealahan
Fatal Mendidik Anak dan Cara Islami memperbaikinya, terj. Abu Shafiya
(Yogyakarta, 2002), hlm. 13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar